First, we discussed about why there is a need for teaching social innovation now. They concluded that at least there are three forces in which happened in school and outside which encourage this. First, simultaneously students become more powerful than ever (with the support of technology, media, organizations, etc) which create greater possibility and opportunity to do this (untapped possibilities). Second, many students have not get the opportunity to learn the first. Thirst, the natural continuation (such as more pressing problems) make this learning make more sense now.
Second, we discussed about what are missing from education system now. They see that trend of students drop out from school to pursue their own interest speaks clearly that market demands more from education (schooling). So how can we embrace this? Create things that before we ”certified” students that they are ready to enter ”the world”. Additionally, some core components in lessons also missed in many schools, such as: teaching empathy, compassion, problem solving, social intelligence, global citizenship, resilience, self reflection, among others. Third, we discussed about what kind of methods should be given when we teach social innovation. Based on their diversed experiences, they highlighted several key points. First, it has to have balance proprotion between knowledge and direct experience (inside and outside of classroom). Second, it is important to apply empathy and respect (not only as concept), but also on how we interact with students. Third, all stakeholders (students, teachers, parents, etc) should give and recive feedback among each other, understand how something can be failed, and open up to new opportunities. Fourth, we need to provide foundations on key skills set, then engage students in a dynamic way.
0 Comments
Few weeks ago, I attended TEDxTeen. How was it? Well, as expected it was really great! I got the chance to meet some inspiring young people (because not all of them are teenagers apparently, so I don't know why they call it TEDxTeen). You can watch the videos of the speakers here. I recommend you to watch Tim Doner's who speaks 23 languages and Kajmere Houchins's who survived from cancers three times then turned out to be anti-bullying advocate. Objectively speaking, their speeches are not that 'freaking awesome' which deserved '5 stars rating', but I appreciate all of them for what they have achieved in life at such young age. Well, theirs are way better than my crappy TED's talk though :p But what's more interesting is the fact that it was my first encounter with #TheBumbys. I have heard about their witty actions before, but never really thought that I would meet them. he Bumbys are anonymous performance artists who provide "a fair and honest appraisal of your performance" using nothing more than analog typewriters and charming wit. They don't talk, and they cover their faces with masks. I just need to stand in front of the Bumbys while they type out a personalized narrative that playfully describes how each individual's appearance is read by the people. They look for the good in the people. They made this for me: "You seem like you're not just a mathelete, but someone who takes silicon valley entrepreneurship to your heart. I bet you have more than a few inventions or app solutions that are just about to pop off and let you be a young millionaire. But, you'r not all just crunching numbers and being the next Zuckerberg, you also seem like you might a bit of a poet, or at least you have an affinity for words and song to capture an emotion. Overall rating: 9.6" What do you think? Well I personally do not know. I mean, maybe some of them are true. But what is interesting for me is what they said that "they look for the good in the people". Whoever we are, when we encounter #TheBumbys, the commentary will be good. One thing I learned, maybe we need to practice this when we meet strangers or anyone. When we see someone, it is very often that we only see the visible things. We try to find people's mistakes and weakness, or things to judge. We feel like an inventor when we can spot something bad on people. I mean constructive feedbacks are important, but there is time when we just need to give support people and say something good about them. Does it make us worst? Nope. This is a note to my self. We never know what people have been through, and we never know how our words can somehow affect their lives.
Have a good day people! Lewat tulisan ini saya ingin sedikit cerita tentang salah satu kebiasaan saya sejak masih SMA. Setiap akhir periode masa belajar (apakah semester atau tahun), saya biasanya suka mendokumentasikan hasil karya belajar saya selama periode tersebut. Bentuknya bisa bermacam-macama, apakah dokumen folio berisikan hasil tulisan dan mind mapping saya di kelas, blog post refleksi pengalaman, kumpulan foto, atau power-point berisikan highlight pencapaian selama belajar. Kenapa harus repot-repot bikin beginian? Saya sebut "repot", karena memang banyak yang mengira saya kurang kerjaan bikin beginian. Well, mungkin juga kurang kerjaan. Tapi untuk membuatnya pasti butuh waktu, dan kalau kita tidak mengalokasikan waktu khusus, ya nggak akan pernah jadi. Ada banyak alasan kenapa jurnal menjadi penting dalam assessment murid, tapi saya mungkin tidak akan membahas sepenuhnya di sini. Tapi alasan personal saya sederhana saja awalnya. Saya ingin kembali mengenang apa yang terjadi selama masa tersebut. Saya paham saya punya keterbatasan memori, dan kadang apa yang terjadi berlalu begitu saja tanpa terekam dengan baik. Jangankan 1 tahun setelah belajar, kadang 1 bulan setelah belajar saja saya lupa apa yang pernah saya buat, atau apa yang saya pelajari. Di sisi lain, keberadaan jurnal bagi saya adalah momentum "merayakan keberhasilan" dan "mengapresiasi kegagalan". Entah kenapa saya merasa puas ketika bisa memandangi kembali rekam jejak, dan menyaksikan secara visual bahwa saya mengalami pertumbuhan sebagai seorang "manusia". Jurnal membuat saya mengapresiasi diri saya lebih dari sekedar angka-angka yang saya peroleh di rapor atau IPK, dan m Biasanya dokumen ini saya buat hanya untuk konsumsi privat saya saya, karena isinya sifatnya personal. Atau mungkin karena dulu saya juga terlalu khawatir bahwa nanti orang akan menghakimi pencapaian belajar saya - dan saya tidak siap untuk menghadapi itu. Singkat cerita, keisengan saya ini berlanjut di sini, saat saya menjalankan master di Columbia University. Bedanya, kalau dulu dokumen ini saya buat hanya untuk kepentingan pribadi, kali ini dokumen ini saya kirimkan ke orang-orang terdekat, mentor, guru, dan donor beasiswa saya. Kurang lebih begini contoh jurnal semester 1 saya di Teachers College, Columbia University: Ketika saya mengirimkan email kepada mereka berisikan jurnal di atas, responnya bermacam-macam. Tapi pada umumnya kaget dan mengapresiasi. Karena menurut mereka ini tidak umum. Banyak diantara mereka yang bertanya kepada saya, "kenapa kamu membuat ini?". Kepada guru saya, saya jawab "Saya ingin dilihat lebih dari sekedar angka yang saya peroleh di kelas, atau apakah tulisan-tulisan akademik saya bagus atau tidak. Saya ingin Anda juga mengetahu apa yang saya lakukan di luar kelas, bagaimana pencapaian saya di kelas yang lain, atau bagaimana saya menikmati hidup saya di luar konteks akademis. Saya ingin anda melihat saya secara utuh." Kepada mentor saya jawab "Saya ingin Anda tahu, bahwa Anda tidak mendukung orang yang salah, dan bahwa saya berterima kasih atas bimbingan Anda selama ini".
Fast forward, ternyata Kepala Departemen Program saya tahu mengenai ini, dan sangat mengapresiasi sekali. Nggak disangka, ternyata sekarang profil saya beserta jurnal saya sudah mejeng di website sekolah. Agak malu sih awalnya, karena minder sama pencapaian teman-teman yang lain yang jauh lebih luar biasa dibandingkan saya sebenarnya. Tapi biarlah, tiap orang punya pencapaian yang berbeda-beda, dan saya cukup bangga dengan apa yang saya raih saat ini, tanpa perlu membandingkan dengan yang lain. Saat ini saya ingin mengembangkan sebuah platform yang memfasilitasi siswa-siswi di Indonesia untuk mendokumentasikan rekam jejak belajarnya. Semoga kesampaian ya, mohon doanya! Sementara menunggu jadi, ayo mulai bikin sendiri. Setelah selesai bikin, pasti tahu deh seperti apa rasanya :) Semua orang punya caranya masing-masing ketika mengambil keputusan penting dalam hidup, seperti urusan pendidikan, sehingga apa yang akan Saya sampaikan ini bukanlah template baku – terlebih lagi mungkin saja sebagian orang melihat Saya agak berlebihan – untuk sebuah keputusan seperti menentukan sekolah. Tapi biarlah, setiap orang punya pandangan berbeda akan apa yang dianggap penting dalam hidupnya, dan bagi Saya pendidikan adalah salah satunya, yang harus saya pikirkan matang-matang.
Dalam menentukan keputusan biasanya saya punya 3 cara: 1) mengumpulkan informasi; 2) mempertimbangkan pilihan yang ada; dan 3) memutuskan. Untuk itu, pada bagian ini Saya akan bercerita dengan 3 babakan tersebut. Awal Juli 2012 Saya mantapkan bahwa Saya ingin melanjutkan sekolah master pada tahun 2013, dan sejumlah persiapan pun mulai dilakukan. Apa saja yang Saya lakukan? Jika Saya perhatikan, kebanyakan teman-teman Saya biasanya menentukan sekolahnya dulu ketika ingin melanjutkan kuliah. Tidak salah juga, namun Saya melihat kecendrungannya mereka menjadi impulsif. Yang penting ada beasiswa dimana, maka saya akan mendaftar. Atau yang penting ke sekolah top (ivy league schools - misalnya), terserah jurusannya apa. Saya nggak tahu benar atau salah, karena sifatnya preferensi, namun Saya melihat sayang sekali jika program master yang akan diambil tidak dapat mendukung tujuan hidup kita secara maksimal. Karena, jika Saya berbincang-bincang dengan rekan-rekan yang sudah menjalani master, mereka pada umumnya menyebutkan bahwa keputusan melanjutkan kuliah itu adalah keputusan besar dalam hidup. Mungkin terlihatnya sebentar jika diukur dari waktu (1-2 tahun), namun ada banyak hal lain yang harus ditinggalkan dan dikorbankan. Sayang jika pengorbanannya tidak sesuai dengan apa yang akan diperoleh, meskipun yang namanya “belajar” akan bermanfaat juga pada akhirnya. Mengumpulkan Informasi Hal yang pertama kali Saya lakukan bukanlah menentukan Saya mau belajar apa, dan sekolah di mana, namun berkaca pada diri sendiri. Saya mulai mengumpulkan informasi tentang diri Saya sendiri terlebih dahulu. Apakah Saya membutuhkan grad school? Untuk apa? Apakah sekarang adalah saat yang tepat untuk melanjutkan sekolah lagi? Jika jawabannya adalah “ya”, maka baru kita pikirkan langkah selanjutnya. Saya sarankan untuk tidak mudah terpancing dengan lingkungan sekitar. Karena kebanyakan teman kita mengambil master, kita jadi pengen ikut-ikutan ambil master juga. Padahal belum tentu kita benar-benar membutuhkannya saat ini. Saya juga mulai melakukan pemetaan terhadap diri Saya sendiri. Saya mencoba memvisualisasikan jawaban dari: siapa Saya? Apa yang membuat Saya senang danpassionate? Apa yang membuat Saya sedih? Apa yang saya ingin ubah dari status quo? Apa saja yang sudah Saya lalui selama ini? Apa yang membuat Saya berada di titik kehidupan saat ini? Situasi seperti apa yang bisa membuat Saya jadi kreatif? Seperti apa sosok role model yang ingin Saya ikuti jejaknya? Apa kekuatan dan kelemahanSaya? bagaimana Saya melihat diri Saya di masa depan? Karir seperti apa yang Saya bayangkan? Bagaimana cara/langkah strategis yang harus Saya lakukan untuk sampai ke cita-cita yang Saya bayangkan? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan dalam yang tentu saja bukan baru Saya pikirkan di bulan Juli 2012, namun sebenarnya Saya sudah bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan ini sejak lama, dan baru Saya coba petakan saat itu. Setelah Saya menemukan jawabannya, Saya membuat semacam vision statement tentang diri Saya, yang akan jadi pijakan bagi Saya untuk menentukan Saya mau belajar apa setelah ini. Banyak orang sebenarnya memikirkan ini, namun tidak banyak yang benar-benar memvisualisasikan atau paling tidak menuliskannya. Karena Saya orangnya visualbanget, jadi visualisasi jadi bagian yang penting. Langkah selanjutnya adalah Saya mengumpulkan informasi tentang sekolah yang Saya inginkan. Salah satu yang dapat dipertimbangkan adalah dengan melihat dari ranking sekolah (meskipun ini tidak dapat dijadijakan sebagai referensi satu-satunya). Karena Saya menginginkan sekolah ke Amerika, maka Saya mencoba mengecek beberapa versi ranking yang ada, salah satunya ini. Yang saya lihat bukan hanya ranking sekolah secara keseluruhan, namun lebih spesifik lagi ke bidang yang ingin Saya tekuni. Setelah itu, misalnya Saya mengambil 15 yang terbaik, lalu dari daftar 15 sekolah ini, saya mengalokasikan waktu sekitar 1 bulan untuk riset mengenai sekolah ini. Saya tidak mau hanya terbuai dengan nama besar sekolah, ataupun peluang-peluang yang ada. Namun pertanyaan utama yang harus terjawab adalah: “Apakah sekolah ini sesuai dengan Saya? Dan bagaimana sekolah ini bisa membantu Saya mencapai impian Saya?” Untuk menjawab itu, website sekolah biasanya adalah salah satu sumber penting yang dapat dijadikan acuan. Pastikan bahwa kita sudah “mengubek-ubek” isi website itu, mulai dari program ya seperti apa, kurikulum yang digunakan, pelajaran yang diajarkan, guru-guru yang mengajar (faculty members) serta publikasi-publikasi yang dihasilkan, persyaratan pendaftaran yang dibutuhkan, biaya sekolah, perkiraan biaya hidup, riset yang dilakukan oleh sekolah, organisasi/institusi yang terafiliasi dengan sekolah, acceptance rate, profil mahasiswa yang dicari setiap tahunnya, dan lainnya. Website sekolah biasanya menampilkan informasi ini, ataupun kita juga dapat menanyakannya kepada admission office. Sumber lain yang bisa dijadikan referensi sebenarnya adalah langsung bertanya kepada alumni yang ada. Kalau kenal, atau bisa minta dikenalkan dengan mutual friends kita lebih bagus. Atau kalaupun nggak bisa, saya sempat mencari dari Linkedin profile, dan mengajak diskusi secara random. Hehe. Linkedin sebenernya juga bisa dijadikan sebagai salah satu wadah untuk melihat profil/latar belakang mahasiswa yang biasanya diterima di sekolah ini. Sehingga pada tahap ini kita juga bisa mengukur apakah kiranya kita bisa diterima di sekolah ini – dengan kapasitas yang kita miliki saat ini. Selain itu, dari Linkedin kita juga bisa melihat ke mana saja para alumni setelah lulus. Karir seperti apa yang mereka jalani. Hal ini bisa dilakukan untuk mengimbangi data yang ada dari sekolah (ini bisa ditemukan di website sekolah/dengan bertanya kepada admission office). Sumber referensi lainnya adalah forum-forum grad school, salah satu yang paling saya senangi adalah the Grad Cafe. Di sini kita bisa berkenalan ataupun mengetahui persiapan-persiapan peserta lainnya. Ada yang akan mendaftar ke sekolah yang sama juga kadang dengan kita. Kita bisa bertanya kepada yang lain, dan juga mengklarifikasi berbagai hal. Mempertimbangkan Pilihan Saat mengumpulkan informasi di atas, ada baiknya jika kita memindahkan informasi-informasi yang didapat kedalam matriks yang lebih sederhana dan mudah dibaca (misalnya dengan menggunakan Microsoft excel, sehingga memudahkan kita membandingkannya. Saya sendiri merasakan betapa mudahnya kemudian mempertimbangkan pilihan dengan menggunakan matriks ini, karena Saya jadinya tidak harus bolak balik melihat website nya satu persatu. Pada tahap ini, Saya tidak terlalu memusingkan masalah biaya. Karena dari pengalaman saya berdiskusi dengan teman-teman yang lain, yang penting kita KETERIMA dulu di sekolahnya. Biaya urusan belakangan. Jangan sampai gara-gara biaya kita jadi mengecilkan minat kita untuk bersekolah di sekolah yang baik. Kalau mau tahu kenapa? Teman saya Donny Eryastha (MPA/ID Harvard) sudah menuliskan dengan sangat baik sekali di sini. Dari matriks ini kemudian Saya mengerucutkan lagi pilihan-pilihan yang ada, melihat plus dan minusnya, serta mengukur dengan kapasitas yang Saya miliki, dan kemudian memberi grading dari setiap indikator yang saya gunakan (dari angka 1-5). Sekali lagi yang Saya perhatikan adalah apakah sekolah ini sesuai dengan Saya & bagaimana sekolah ini bisa membantu saya mencapai impian Saya. Misalnya Saya melihat apakah apa yang Saya pelajari akan diajarkan di sekolahnya? Apakah metode yang digunakan (misalnya case method, discussion heavy, paper heavy, dan lain-lain.) sesuai dengan Saya? Apakah ada faculty member yang sudah mengkaji atau menekuni apa yang ingin saya pelajari? Dan lain-lain. Selain sekolah, saya juga melihat faktor-faktor seperti lokasi & kesempatan di luar akademis yang mungkin bisa saya peroleh jika bersekolah di situ. Misalnya, sebagai individu, Saya lebih nyaman tinggal di kota-kota besar yang dinamis, dan juga land of opportunities. Dengan mempertimbangkan unsur seperti ini, maka sekolah bagus semacam Vanderbilt pun harus saya coret dari daftar, karena mungkin saja secara akademis bagus, tapi saya mencari lebih dari sekedar kebutuhan akademis ketika bersekolah. Dari daftar yang ada, kemudian Saya mengerucutkan pilihan Saya menjadi 5 berdasarkan grading mechanism yang saya lakukan. Membuat Keputusan Dalam banyak kasus, biasanya teman-teman Saya ketika memutuskan sekolah apa yang akan dilamar, membaginya atas 3 kelompok: dream school (sekolah yang benar-benar diimpikan), medium (kira-kira sesuai dengan kapasitas kita untuk diterima), dan safe schools (sekolah yang hampir pasti akan menerima kita). Berapa jumlahnya? Terserah. Biasanya kalau punya uang lebih, bisa saja apply sampai sepuluh sekolah totalnya (karena biaya pendaftaran satu sekolah bisa berkisar dari 50 USD–250 USD – tergantung sekolahnya). Tapi ingat, setiap sekolah biasanya memiliki persyaratan yang berbeda-beda, khususnya perihal esai, dan kita tidak dapat membuat satu esai - “one fits all” – untuk semua sekolah yang kita akan ambil. Tiap sekolah punya karakternya masing-masing, dan ini akan menentukan kriteria mahasiswa ideal seperti apa yang mereka cari. Begitu juga dengan surat rekomendasi. Satu surat tidak dapat dikirimkan ke setiap sekolah. Pihak yang merekomendasikan kita harus membuat secara spesifik satu surat untuk satu sekolah. Sehingga bisa dibilang jika kita mendaftar ke lebih banyak sekolah, mungkin memperbesar kesempatan, namun juga membutuhkan persiapan yang jauh lebih menguras energi dan waktu. Kalau tidak lihai mengelola, bisa-bisa justru tidak ada yang dapat, karena dalam mempersiapkan masing-masing aplikasi tidak maksimal. Dalam kasus Saya, Saya menyadari bahwa waktu Saya singkat, hanya sekitar empat bulanan sebelum batas pengumpulan berkas. Sementara saat itu Saya belum belajar apalagi mengikuti sejumlah tes yang disyaratkan (IBT, IELTS, GRE), Saya belum menghubungi mereka yang akan Saya minta untuk menuliskan rekomendasi, mempersiapkan essai, dan lain-lain. Di saat yang sama, itu adalah semester tujuh, dan Saya berencana menyelesaikan kuliah 3,5 tahun – sehingga Saya harus menyelesaikan Tugas Akhir, mengambil beberapa kelas – dan saat itu Saya juga mengerjakan semuanya sembari bekerja. Rasanya Saya tidak mau muluk-muluk untuk mendaftar sekolah banyak-banyak, takutnya tidak optimal. Tidak muluk-muluk bukan berarti saya mengecilkan impian saya untuk bersekolah di sekolah yang baik, dengan mendaftarkan semua pilihan ke safe schools. Tapi saya selalu percaya, Saya ingin sebisa mungkin mengerjakan yang terbaik, dan kalau bisa kenapa tidak? Saya tetapkan hanya akan mendaftar ke dream schools, dengan bayangan bahwa kalaupun Saya tidak terima, Saya masih bisa mencoba lagi tahun depan. Toh, usia Saya juga masih muda, dan saat itu Saya juga belum lulus s1. Dengan segala pertimbangan tersebut, akhirnya Saya memutuskan untuk mendaftarkan diri ke Teachers College of Columbia University (pil.ihan 1), dan Harvard Graduate School of Education (pilihan 2). |
Archives
November 2014
Categories
All
|